Selasa, 21 Maret 2017

Teori Siklus Ibnu khaldun

A.     Pendahuluan

Perubahan sosial merupakan sebuah isu yang tidak akan pernah selesai untuk diperdebatkan. Perubahan sosial itu sendiri menyangkut kajian dalam ilmu sosial yang meliputi tiga dimensi waktu yang berbeda, dulu (past), sekarang (present), dan masa depan (future). Untuk itulah, masalah sosial yang terkait dengan isu perubahan sosial merupakan masalah yang sulit diatasi dan diantisipasi. Namun demikian, di sisi lain, masalah sosial yang muncul di masyarakat hampir semuanya merupakan konsekuensi adanya perubahan sosial di masyarakat.
Kajian mengenai perubahan sosial,[1] sebenarnya sudah dimulai sekitar abad ke 18. Ibn Khaldun, seorang pemikir Islam dalam bidang ilmu sosial, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep perubahan sosial. Perubahan sosial menurut Khaldun bahwa masyarakat secara historis bergerak dari masyarakat nomaden menuju masyarakat (yang tinggal) menetap (disebut masyarakat kota) [2]
Perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Untuk itu, konsep dasar mengenai perubahan sosial menyangkut tiga hal, pertama, studi mengenai perbedaan;[3] kedua, studi harus dilakukan pada waktu yang berbeda;[4] ketiga, pengamatan pada sistem sosial yang sama. [5]

B.     Biografi singkat Ibn Khaldun
Wali al-Din Abu Abdul Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami al-Ishbili, dikenal dengan nama Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Wafat di Kairo, Mesir pada 17 Maret 1406. [6]
Ibnu Khaldun adalah keturunan bangsawan dan tinggal di lingkungan kerajaan. Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya sendiri. Kemudian ia mempelajari bahasa dari sejumlah guru, yang terpenting adalah Abu Abdullah Muhammad ibn ‘Arabi Al-Itasyahyiri dan Abu Al-Abas Ahmad Ibn Al-Qushshar serta Abu Abdillah Muhammad ibn Bah. Ia mempelajari hadits kepada Syamsudin Abu Abdillah al-Widayashi Al-Qashir. Ia juga belajar ilmu alam, filsafat, matematika, teologi kepada Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abili.
Latar belakang keluarganya, dan saat ia dilahirkan sangat menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya. Sedangkan semasa hidupnya yang ditandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan teori-teori ilmu sosial serta filsafatnya, sebuah ciri khas yang melatarbelakangi kehidupan Ibnu Khaldun adalah berasal dari keluarga politis, dan intelektual dan antrokrat. Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ia berkecimpung dalam bidang politik. Kemudian mengundurkan diri dari bidang politik serta menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian[7].
Ibnu Khaldun salah seorang ahli fikir Islam, sebagaimana para pemikir Islam lainnya, pendidikan masa kecilnya berlangsung secara tradisional[8]. Ibnu Khaldun pertama sekali menerima pendidikan langsung dari ayahnya. Artinya ia harus belajar membaca Al-quran, Hadist, Fiqih, Sastra, Nahu Sharaf, juga mempelajari Tafsir, gramatika, ilmu mantiq dan filsafat, karena ayahnya sagat terkenal dan mahir dalam bidang ilmu tersebut, dengan sejumlah ulam Andalusia dan Tunisia.
Tunisia pada waktu itu merupakan pusat ulama dan sastrawan di daerah Magrib. Khususnya kepada ayahnya, Ibnu Khaldun umur 17 tahun ayahnya wafat meninggalkan lima putra diantaranya Abd. Rahman (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Hidupnya yang berpindah-pindah dari Maroko ke Andalusia dan memberikan waktu luang dan mengarang. Diantara guru Ibnu Khaldun yang terkenal adalah Abu Abdullah  Muhammad Ibnu Saad Ibn Burral al-Ansari, Syaikh Abu Abdullah Ibn al-Arabi al-Hasayiri, Muhammad al-Syawwas al-Zarazali, Ahmad Ibn al-Qassar, Syaik Syams al-Din Abu Abdullah Muhammad al-Wadisyasyi, dan Muhammad Ibn Abd al-Salam[9].
Selanjutnya pada tahun 1362 Ibnu Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di Granada, ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro (raja Granada) dan raja Castila de Sivilla. Karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari pula bekerja oleh penguasa Kristen saat itu. Sebagai imbalannya tanah-tanah bekas milik keluarganya dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dari tawaran-tawaran yang ada, ia akhirnya memilih tawaran untuk bekerja sama dengan raja Granada. Kesanalah ia memboyong keluarganya dari Afrika. Ia tidak lama tinggal di Granada. Ia selanjutnya kembali ke Afrika dan diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Sultan al-Jazair. Ketika antara tahun 1362-1375 terjadi pergolakan politik, menyebabkan Ibnu Khaldun terpaksa mengembara ke Maroko dan Spanyol.
Pada tahun 1382, ia melaksanakan ibadah haji. Setelah melaksanakan haji, ia kemudian berangkat ke Iskandariyah dan selanjutnya ke Mesir. Di Mesir, ia kemudian diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Selain dikenal sebagai filosof, Ibnu Khaldun dikenal sebagai sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap bidang pendidikan. Hal ini antara lain  terlihat dari pengalamannya sebagai pendidik yang berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lainnya[10].
Di Qastantin selatan, di benteng Ibnu Salamah, ia menghabiskan waktu selama 4 tahun untuk menulis, ia selesaikan di tempat tersebut Muqadimahnya yang sangat terkenal. Waktu itu ia berumur 43 tahun. Ketika ia banyak memerlukan referensi lagi dan hal itu tidak mencukupi kecuali di Tunisia[11].
Pendidikan formal dilaluinya hanya sampai usia 17 tahun, seterusnya ia belajar sendiri meneruskan apa yang telah diperolehnya pada masa pendidikan formal sebelumnya. Karena ketenarannya telah datang ke Mesir terlebih dahulu ia pun didaulat untuk mengajar fiqih mazhab Maliki. Sehingga pernah ia menjabat sebagai qadhi, diplomat, guru besar dan rektor Amaliyah, ketua hakim agung di Mesir selama 6 periode. Dan selama 40 tahun inilah, ia memanfaatkan sisa usianya untuk menulis, mengarang, mengembangkan dan mengabdikan ilmu pengetahuan yang selama ini ditinggalkannya hingga meninggal dunia pada tahun 1406 M. Ia meninggal dunia di Mesir dalam usia 74 tahun[12].
Ketenaran Ibnu Khaldun sebagai ulama dapat dilihat dari karya monumentalnya Al-Muqaddimah. Kitab ini sesungguhnya merupakan pengantar bagi karya Universitasnya yang berjudul Kitab Al-Ibar wa Diwan al-Mubdada’ wa al-Khabar fi ayyani al-Arab wa al-Ajam wa al – barbar wa man Asarahun min Dzami as sut than al-Akbar. (Buku Sejarah Kemajuan Bangsa Arab Ajam, Barbar dan Orang-Orang Sezaman dengan Mereka yang Memiliki Kekuasaan Besar).
Seluruh ilmunya dalam kitab Al-Muqadimmah memaparkan tentang ilmu sosial, kebudayaan, ilmu pendidikan, politik, ekonomi, sastra, disamping itu juga ilmu Filsafat, tasawuf, metafisika yang termasuk kitab pertama yang merumuskan perkembangan sejarah manusia dengan metodologi ilmiah yang didasarkan pada riset mengenai berbagai faktor yang mampu memotivasi perkembangan manusia. Sementara kitab al-Ibrar merupakan bukti empiris historis dan teori yang dikembangkannya : Orientalis dan kedalaman pemikiran yang telah berhasil meletakkan karya Muqadimmah sebagai sebuah karya yang umum dan melampaui zamannya[13].
Di samping perhatiannya yang besar terhadap gurunya, Ibnu Khaldun juga menyebutkan buku yang pernah ia pelajari. Buku-buku itu antara lain: Al-Lamiyah fi Qira’at dan Al-Ra’iyah karangan Al-Syattibi, Ulum Al-Hadits karya Ibn Al-Sholah. [14]
Ibnu Khaldun adalah mutiara yang bersinar sejak abad pertengahan hingga sekarang. Ide cerdasnya tidak akan habis dikaji oleh para sejarawan dulu, kini dan yang akan datang (The first philosopher of history and the last intelectual giant of Islam).
Al-Muqadimah karya Ibnu Khaldun (1332-1406) belum menampakkan tanda-tanda akan sirna, nampaknya karya ini masih saja dikaji dan diperdebatkan.
Adalah sesuatu yang alami dalam wacana ilmiah adanya sikap pro dan kontra terhadap hasil pemikiran atau temuan seorang ilmuwan, tidak terkecuali terhadap Ibnu Khaldun dan tesis yang ditemukannya. Pihak yang pro telah menempatkan Ibnu Khaldun pada posisi yang sangat tinggi, sebagai seorang pemikir ensiklopedis yang tidak banyak muncul dalam sejarah seperti sejarawan A. J. Toybee. Bagi yang kontra, memposisikan Ibnu Khaldun yang sangat rendah sebagai grand misconception of the historical proces.
Penilaian yang saling berbenturan tentang Ibnu Khaldun dan ide-idenya merupakan salah satu indikasi dari kenyataan buku Al-Muqadimah masih juga tidak usang untuk dibicarakan di kalangan para ilmuwan. [15]
Namun kebenaran Ibnu Khaldun justru karena Al-Muqadimah-nya, dan bukan karena Kitab Al-‘Ibrar-nya. Mengapa demikian? Tidak sukar untuk menjawabnya, karena seluruh bangunan teorinya sebagai ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah tersirat dalam Al-Muqadimah. Kitab Al-‘Ibrar adalah buku empiris-historis dati teori yang telah dikembangkan. [16]

C.      Gagasan Ibn Khaldun: Pendekatan Teori Siklus
Meskipun Ibn Khaldun tidak menyebut pemikirannya adalah pemikiran yang sosiologis, namun sebenarnya pemikirannya sangat sosiologis. Ia tidak memakai terminologi sosiologi, namun ia banyak menggunakan konsep-konsep dalam sosiologi, seperti konsep masyarakat dan solidaritas sosial. Studi perubahan sosial dalam sosiologi dapat dikategorikan ke dalam kajian makrososiologi[17] dan mikrososiologi.[18]
Sedangkan kelompok teori siklus dalam studi mengenai perubahan sosial termasuk kajian makrososiologi selain tiga yang lain yakni, teori evolusi, teori fungsional dan teori konflik.
Teori siklus menurut Horton dan Hunt melihat bahwa ada sejumlah tahap yang harus dilalui setiap masyarakat, namun mereka berpandangan bahwa proses peralihan tersebut bukanlah akhir dari proses perubahan yang sempurna. Akan tetapi proses peralihan tersebut akan kembali ke tahap semula untuk kembali mengalami peralihan.[19]
Dalam muqaddimahnya, Ibn khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, baik dalam hal memperoleh makanan, pekerjaan, sampai dengan kebutuhan untuk melindungi dirinya dari bahaya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan.
Dalam konsepnya, Ibn Khaldun mengklasifikasi dua jenis kelompok sosial yang keduanya memiliki karakter yang cukup berbeda. Pertama adalah “badawah” yakni masyarakat yang tinggal di pedalaman, masyarakat primitif, atau tinggal di daerah gurun; kedua “hadharah” yakni masyarakat yang identik dengan kehidupan kota. Ia menyebut sebagai masyarakat beradab atau memiliki peradaban atau sering juga disebut masyarakat kota.
Kondisi fisik tempat tinggal mereka turut mempengaruhi kehidupan beragama mereka. Masyarakat Badui hidup lebih sederhana dibanding masyarakat kota dan hidup dengan meninggalkan makanan mewah, memiliki tingkat ketaqwaan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat kota. Orang Badui lebih berani, mereka memiliki ikatan solidaritas (ashabiyah) yang kuat, dan menurut Khaldun inilah yang menjadi syarat kekuasaan.
Ditempat lain, masyarakat kota lebih hidup dengan berbagai kemewahan, serba enak, menyebabkan mereka menjadi lebih individualis yang berdampak pada lemahnya ikatan solidaritas mereka. Dengan lemahnya solidaritas ini, maka masyarakat kota lebih mudah dikalahkan oleh masyarakat badui, dan masyarakat kota mengalami kehancuran dan masyarakat badui berhasil menduduki kota.
Dengan kenyataan ini sebenarnya apa yang disimpulkan Ibnu Khaldun lebih terbatas. Ruang lingkupnya di Afrika Utara dan pada beberapa dinasti Arab-Muslim. Lebih jauh penjelasan berdasarkan ringkasan Fuad Baali di bawah ini:
Menurut Ibnu Khaldun, kemunculan sebuah bangunan kekuasaan akan menimbulkan anarki, dan anarki pada gilirannya akan menghancurkan peradaban. Proses kehancuran ini berjalan melalui masa transisi dari kehidupan primitif (nomadisme), ruralisme menuju kehidupan hadharah (urbanisme).
Perubahan ini terjadi akibat masyarakat nomas tergoda oleh kemewahan kota yang serba menggairahkan.
Pemimpin mereka berusaha menarik berbagai ashabiyah di sekitarnya sebelum melakukan serangan terhadap negara tetangga. Bila serangan itu berhasil, maka di atas reruntuhannya itu dibangun sebuah negara baru. Proses itu berlangsung terus sebagai sebuah siklus, selama ada kontak antara masyarakat nomas dengan penduduk kota.
Diteorikan lebih jauh bahwa perkembangan sebuah negara mengalami 5 fase:
Pertama, saat mengalahkan musuh dari lawannya. Pada fase ini penguasa dijadikan model oleh para pengikutnya dalam hal memungut pajak. pada fase ini penguasa tidak menjauhi dari pengikutnya.
Kedua, penguasa memerintah secara otokratik dan mulai dan mulai menjauhkan diri dari pengikutnya. Diciptakanlah fasal-fasal dan pengikut baru demi melemahkan posisi para pemegang ‘ashabiyah dan keluarga dekat yang mengklain sebagai sejajar dengannya dalam memerintah negara. Pada fase ini penguasa didukung oleh sejumlah kecil individu yang asing, tidak punya hubungan darah atau hubungan suku dengannya.
Ketiga, adalah fase bersenang dan fase kesenangan untuk hidup mewah dan kesukaan membangun monumen. Penguasa menggunakan seluruh kekuasannya untuk menarik pajak, mengatur pendapatan dan pengeluaran .
Keempat, adalah fase bahagia dan damai, bahkan dengan pihak musuh, penguasa sudah merasa puas dengan apa yang telah dilaksanakan oleh para pendahulunya yang senantiasa dijadikan contoh. Inilah klimak dari sebuah perjalanan kekuasaan.
Kelima, adalah fase pemborosan dan kemewahan. Pada fase ini penguasa menghancurkan apa yang telah dibangun oleh para pendahulunya demi mengikuti nafsu, kesenangan dan sikap pemurah terhadap lingkaran intinya. Pada fase ini, ia dikelilingi oleh teman-teman palsu dan orang-orang jahat yang dipercayainya untuk menangani tugas negara sedangkan mereka tidak becus untuk itu. [20]
Khaldun menjelaskan bahwa solidaritas merupakan kunci utama yang dapat mempertahankan keutuhan masyarakat. Masyarakat individualis akan sangat mudah dihancurkan oleh masyarakat yang memiliki solidaritas yang sangat kuat.

D.     Gagasan Ibn Khaldun: tentang masyarakat, Negara dan peradaban
1.     Asal-Usul Masyarakat
Ada pernyataan menarik bahwa manusia merupakan zoon politicon.[21] Pernyataan tersebut sangatlah mendukung bahwa manusia dalam kenyataannya terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung membentuk sebuah organisasi masyarakat. Membentuk suatu organisasi masyarakat adalah sebuah keniscayaan, karena munusia juga tidak akan bisa bertahan tanpa manusia lainnya. Meskipun manusia dikarunia kelebihan oleh Tuhan dalam penciptaannya, namun secara fisik manusia juga sangat terbatas, dan tetap memiliki kekurangan. Kegiatan manusia dalam melakukan aktifitasnya pastilah memerlukan materi lain baik itu tenaga maupun alat pendukung, misalnya makanan.
Makanan, jika kita tinjau lebih jauh bagaimana proses makanan itu dibuat, tentu akan membutuhkan cerita yang panjang baik dari mulai proses pembuatan dari bahan mentah sampai menjadi makanan siap saji. Dari hal tersebut dapat dibuktikan bahwa ada unsur-unsur yang mempengaruhi yakni alat, bahan mentah, tenaga, waktu, tempat dan lain-lain. Begitu pula proses sosial dalam masyarakat. Itu berarti manusia tidak akan bisa melakukan semuanya dalam satu kegiatan dan pastinya manusia membutuhkan tenaga lain.  Itulah mengapa penjelasan asal-usul masyarakat ini menjadi bahan awal dalam membangun sebuah negara.[22]
2.     Asal-Usul Negara
Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai asal-usul sebuah negara. Telah dijelaskan dalam pembahasan asal-usul Masyarakat bahwa manusia tidak bisa hidup secara individu dan oleh karena itu dibutuhkanlah sebuah organisasi masyarakat.
Setelah Organisasi masyarakat terbentuk barulah manusia menyadari bahwa pentingnya sebuah keamanan (ancaman dari pihak luar) juga sangat perlu. Mungkin serangan dari binatang bukanlah suatu ancaman yang menakutkan bagi manusia, tetapi serangan dari manusia itu sendiri merupakan suatu yang sangat menakutkan bagaikan bermain “topeng”. Bukan karena kekuatan fisiknya tetapi karena kelicikannya yang melebihi dari pada binatang.  Oleh karena itu diperlukanlah manusia yang mempunyai otoritas yang tinggi untuk bertindak sebagai keamanan. Disamping mempunyai kekuasaan yang penuh sebagai penengah, Ia juga harus mempunyai Authoritative Power, karena hal inilah yang menjadi alat penting untuk menekan terjadinya konflik atau serangan dari pihak-pihak luar.[23] Dia adalah orang yang akan melaksanakan kekuasaan dan menjauhkan manusia dari sifat agresifitas, arogansi, kedhaliman dan kebinatangan, masing-masing saling membunuh untuk memenuhi kepentingannya. Maka diperlukanlah sebuah lembaga untuk mengatur dan menertibkannya.[24]
Perlu diungkapkan bahwa setiap masyarakat memiliki sistem kekuasaan. Setiap masyarakat memiliki tokoh atau kelompok berkuasa dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya berdasarkan otoritas yang ada padanya. Kekuasaan seorang atau kelompok nyata dari kemampuan untuk mengendalikan orang dan memaksanya untuk melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawabnya. Kekuasaan digunakan untuk mengendalikan orang agar diperoleh ketertiban dan pengawasan atas tindakan seorang. Tentu saja kekuasaan itu dapat digunakan baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Jika kekuasaan jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab, tentu sangat merugikan masyarakat.[25]
3.     Bentuk Pemerintahan
Dalam konsep Pemerintahan Ibn Khaldun membagi bentuk pemerintahan menjadi tiga tipe, yakni: Pertama, Al-Mulk  natural  artinya, seorang raja dalam memerintah  lebih mengikuti keegoisan dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Pemerintahan jenis ini lebih dekat kepada pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. Kedua, Al-Mulk politik  yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan jenis ini serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan hanya pada  batas-batas tertentu. Ketiga, Al-Imamah  yaitu pemerintahan yang membawa kemaslahatan bagi semua rakyat  baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model ketiga inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam.[26]
Ibnu Khaldun dalam bukunya Osman Raliby (1965) menyebut adanya empat syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu: ilmu pengetahuan yang luas, keadilan, kesanggupan, dan tidak mempunyai kecacatan atau keselamatan indera dan anggota tubuh dari hal-hal yang bisa mempengaruhi cara berpendapat dan bertindak.[27] Adapun syarat kelima, yakni keturunan Quraisy masih diperselisihkan.[28] Syarat berilmu pengetahuan juga jelas. Karena dia akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah apabila dia mengetahuinya. Berilmu pengetahuan yang dimaksudkan tidak akan memadai kecuali jika ia seorang mujtahid, mengingat taqlid adalah suatu kekurangan; sementara kepemimpinan menuntut kesempurnaan dalam karakteristik dan watak. [29]
4.     Ashabiyah dan Teori Siklus
Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[30] Dapat dikatakan bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa dibarengi ashabiyah, maka keberlangsungan dan eksistensi suatu negara tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya, negara tersebut berada dalam ancaman disintegrasi dan menuju pada  kehancuran.[31]
Di sinilah Ibn Khaldun dengan Konsep ashabiyah nya sangat teliti dalam menganalisis persoalan politik dan negara. Ashabiyah merupakan kunci awal lahir dan terbentuknya sebuah negara. Jika unsur ashabiyah suatu negara sudah melemah, maka negara itu berada dalam ancaman keruntuhan. Oleh karena itu teori ashabiyah ini tidak bisa disangkal keadaannya, dan bahkan teori ashabiyah ini menjadi inspirasi bagi pergerakan politik kontemporer.
Ibnu Khaldun membagi  istilah ashabiyah menjadi dua macam pengertian. Pertama, Pengertian ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Kedua, Pengertian ashabiyah bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.
Gagasan Ibn Khaldun tentang negara yang dikaji melalui pendekatan sosiologis diilustrasikan dengan sifat alamiah manusia yang senantiasa hidup berkelompok, saling menggantungkan diri, dan tidak mampu hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain (zoon politicon). Sehingga dari sifat alamiah tersebut serta dibarengi adanya tujuan yang sama dari masing-masing manusia, kemudian terbentuklah ashabiyah di antara mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk sejak mulai dari kelompok terkecil sampai kepada kesatuan kelompok manusia yang paling besar.
Argumentasi mendasar diperlukannya ashabiyah tersebut, karena; Pertama, teori tentang berdirinya negara berkenaan dengan realitas kesukuan (klan). Keadaan sebuah suku dilihat dari faktor psikologis bahwa masyarakat tidak mungkin mendirikan negara tanpa didukung perasaan persatuan dan solidaritas yang kuat.[32] Kedua, bahwa proses pembentukan negara itu harus melalui perjuangan yang keras dan berat. Apabila imamah tidak mampu menundukkan lawan maka dirinya sendiri yang akan kalah dan negara tersebut akan hancur. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya.
Oleh karenanya, kekuatan solidaritas memberikan efek yang dapat mempengaruhi keeksistensian negara. Selanjutnya Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama memiliki peran penting dalam membentuk persatuan ashabiyah tersebut. Semangat persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu tidak bisa ditandingi oleh semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor lainnya. Hal tersebut didukung oleh visi agama dalam meredakan pertentangan dan perbedaan visi rakyat, sehingga mereka mempunyai tujuan sama, untuk berjuang bersama menegakkan agamanya. Hal ini bisa dibuktikan ketika dalam perang Yarmuk dan Qadisiyah, di mana pasukan umat Islam hanya berjumlah 30.000 orang, dan tentara Persia di Qadisiyah berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraklitus, berjumlah 400.000 orang. Meskipun jumlah pasukan umat Islam sangat kecil, tetapi karena didasari semangat persatuan yang tinggi dan dibentuk oleh peran agama hasilnya umat Islam mampu memenangkan peperangan tersebut.[33]
Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, seperti yang telah dijelaskan dalam konsep teori siklus di atas yaitu:
a.       Tahap sukses, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
b.      Tahap tirani,  dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Nafsu untuk menguasai menjadi tidak terkendali.
c.       Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
d.      Tahap tentram dan damai, dimana penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
e.       Tahap kemewahan, dimana penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.[34]
Dari tahapan-tahapan tersebut akhirnya memunculkan tiga generasi, yaitu: Generasi pertama; generasi pembangun, generasi yang masih memegang sifat-sifat kenegaraan. Generasi kedua; generasi penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Generasi ketiga; ganeresi ketidakpedulian. Mereka  tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara dan mereka tidak pernah memedulikan nasib negara.[35]
Jika suatu bangsa sudah mencapai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sudah di ambang pintu. Dari tahapan di atas dapat disederhanakan ketika sebuah peradaban besar dimulai dari masyarakat yang hidup dengan kesusahan dan penuh perjuangan. Keinginan untuk hidup makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ashabiyyah, membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras pula. Ketika Impian tersebut telah tercapai maka akan memunculkan sebuah peradaban baru. Adanya kemunculan peradaban baru tersebut memberikan dampak atas mundurnya peradaban tersebut dari peradaban lain. Tahapan-tahapan tersebut berputar seperti roda yang tidak pernah berhenti. Lebih sederhana lagi teori siklus ialah; lahir, tumbuh, berkembang dan mati.

E.      Kesimpulan
1.      Prinsip dasar
a.             Fenomena sosial budaya tunduk pada hukum, walau tidak semutlak hukum alam.
b.            Hukum bekerja atas dasar dukungan massa dan tidak dapat dipergunakan secara signifikan oleh individu-individu dengan terpisah.
c.             Hukum itu dapat ditemukan dengan menyimpulkan sejumlah fakta atau dengan mengamati persamaan-persamaan dan urutan-urutannya.
d.            Hukum itu umumnya berlaku untuk semua masyarakat (peradaban) dengan jenis struktur yang serupa.
e.             Masyarakat dan (peradaban) tidak statis, bentuk sosial budaya berubah dan dinamis melalui fakta utamanya kontak sosial antar individu dan kelas yang berbeda.
f.              Faktor sosial budaya lebih menentukan perubahan masyarakat (peradaban daripada faktor lingkungan fisik).
2.      Beberapa hukum/teori sosial budayanya.
a.       Tipologi/evaluasi masyarakat (arab)
“Badawah”  dan “Hadharah”
- Berpindah - Menetap
- Hidup sederhana - Hidup mewah
- Ashabiah kuat - Ashabiah rendah
b.      Hubungan antara kekuasaan (negara) dan peradaban kekuasaan
lemah/runtuh à anarkhi à peradaban hancur
kekuasaan kuat àstabilitas à peradaban maju



DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman Zainuddin. Kekuasaan Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992
Abd. Al-Rahman Ibn Khdun , Muqaddimah Ibn Khaldun. Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi, Cairo, Dar al-Nahdah, tth, jilid ,1
Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan; Individu, Masyarakat dan Pendidikan, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013
Ahmad Syafi’i Maarif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta, Gema Insani Press, 1996
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya penterjemah Ahmadi Thaha, Jakarta, Grafiti Press, 1985
Fuad Baali, Society, State and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sociological Thought. New York: State University of New York Press, 1988
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu tujuan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan indisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993
Ibn Khaldun. The Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, 1989
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedia Filsafat,  Shofiyullah Mukhlas, Jakarta, Khaifa. 2005
Jhon L. Esposito (ed). Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Penerbit Mizan, 2001
M. Djiauddin Rais. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001
Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and Work. New Delhi, Kitab Bharan, 1994
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta UI Press, 1990
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2012, cet. Ke-2
Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1965, h. 153
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat, Ciputat Press, 2005
Rusjdi Ali Muhammad.  Politik Islam: Sebuah Pengantar,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam-Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, Jakarta, Logos 1997
Shofiyullah M.Z. Kekuasaan Menurut Ibnu Khaldun, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998
Umar Muhammad al-Toumi al-Syaibany, Falasafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Tripoli Libia, al-Syarikah al-Ammah lial-Nasyr al-Tauzi wal-I’kan, 1975



[1] Kajian tersebut tidak semata-mata terbatas pada proses perubahannya, mekanisme perubahan, arah perubahan, melainkan sampai kepada pembahasan mengenai dampak atau konsekuensi-konsekuensi perubahan sosial itu sendiri.
[2] Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2012, cet. Ke-2.h.1-2
[3] Artinya, bahwa untuk dapat melakukan studi perubahan sosial, kita harus melihat adanya perbedaan atau perubahan kondisi obyek yang menjadi fokus studi
[4] Yang dimaksud adalah bahwa perubahan harus dilihat dalam konteks waktu yang berbeda, dengan kata lain kita harus melibatkan studi komparatif dalam dimensi waktu yang berbeda
[5] Obyek yang menjadi fokus studi komparasi tersebut haruslah obyek yang sama. Lihat Nanang Martono, sosiologi...h.2-3
[6] Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and Work. New Delhi, Kitab Bharan, 1994, h.3
[7] Abd. Al-Rahman Ibn Khdun , Muqaddimah Ibn Khaldun. Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi, Cairo, Dar al-Nahdah, tth, jilid ,1 h 41
[8]  HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu tujuan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan indisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993, h. 141.
[9] Umar Muhammad al-Toumi al-Syaibany, Falasafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Tripoli Libia, al-Syarikah al-Ammah lial-Nasyr al-Tauzi wal-I’kan, 1975, h 282.
[10] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat, Ciputat Press, 2005, h  18
[11] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedia Filsafat,  Shofiyullah Mukhlas, Jakarta, Khaifa. 2005, h.7.
[12] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam-Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, Jakarta, Logos 1997, h.91.
[13]  Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam …., h. 93
[14] Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya penterjemah Ahmadi Thaha, Jakarta, Grafiti Press, 1985, h.3
[15] Ahmad Syafi’i Maarif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta, Gema Insani Press, 1996. h.3
[16] Ahmad Syafi’i Maarif, Ibnu Khaldun ... h.24-25
[17] Makrososiologi merupakan sosiologi yang mempelajari pola-pola sosial berkala besar terutama dalam pengertian komparatif dan historis, pokok kajiannya banyak memusatkan perhatian pada aspek sistem sosial, bagaimana sistem sosial bekerja. Lihat Nanang Martono, Sosiologi....h.27
[18] Sedangkan mikro sosiologi lebih  memberikan perhatian pada perilaku sosial dalam kelompok dan latar sosial masyarakat tertentu. Fokus kajiannya lebih banyak pada interaksi sosial, terutama interaksi secara tatap muka. Lihat Nanang Martono, Sosiologi....h.28
[19] Nanang Martono, Sosiologi....h.29
[20] Fuad Baali, Society, State and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sociological Thought. New York: State University of New York Press, 1988, h. 69-71
[21] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta UI Press, 1990,  h. 99
[22] Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1965, h. 153
[23] Osman Raliby, Ibnu Khaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, h. 158
[24] Rusjdi Ali Muhammad.  Politik Islam: Sebuah Pengantar,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,  h. 8
[25] Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan; Individu, Masyarakat dan Pendidikan, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Cet. Ke 3, 2013, h. 63
[26] M. Djiauddin Rais. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 86-89
[27] Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, hlm. 168
[28] Diantara yang menolak syarat ini adalah Abu Bakar Al-Baqillani
[29] Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, hlm. 168
[30] Jhon L. Esposito (ed). Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, h. 198
[31] Ibn Khaldun mengatakan bahwa solidaritas sosial ini terbentuk atau terdapat pada kelompok masyarakat generasi pertama, yang ikut berjuang mendirikan sebuah negara, dinasti, maupun kerajaan. Namun ketika memasuki kelompok generasi berikutnya semangat solidaritas itu berangsur hilang dan tidak diketahui kelompok masyarakat yang terakhir ini. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terkikisnya semangat solidaritas, serta semakin menurunnya loyalitas masyarakat kepada pemimpinnya. Sebagai contoh Ibn Khaldun menunjukkan dinasti Abbasiyah di zaman khalifah al-Mu’tashim dan anaknya al-Watsiq, di mana kekuatan bangsa Arab menjadi lemah, sehingga raja bergantung sebagian besar kepada orang-orang dari bangsa Persia, Turki, Dailami, Saljuk dll. Karena mendapatkan kesempatan dan kepercayaan sangat besar yang diberikan oleh raja, maka bangsa asing tersebut memanfaatkannya dengan menguasai daerah-daerah kekuasaan dinasti Abbasiyah. Lihat Ibn Khaldun. The Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, 1989, h, 123-124
[32] A. Rahman Zainuddin. Kekuasaan Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992, h. 160
[33] Shofiyullah M.Z. Kekuasaan Menurut Ibnu Khaldun, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998, h. 51
[34] Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, h. 242
[35] Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, h. 234-238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar