A.
Pendahuluan
Perubahan sosial merupakan sebuah isu yang tidak akan
pernah selesai untuk diperdebatkan. Perubahan sosial itu sendiri menyangkut
kajian dalam ilmu sosial yang meliputi tiga dimensi waktu yang berbeda, dulu (past),
sekarang (present), dan masa depan (future). Untuk itulah,
masalah sosial yang terkait dengan isu perubahan sosial merupakan masalah yang
sulit diatasi dan diantisipasi. Namun demikian, di sisi lain, masalah sosial
yang muncul di masyarakat hampir semuanya merupakan konsekuensi adanya
perubahan sosial di masyarakat.
Kajian mengenai perubahan sosial,[1]
sebenarnya sudah dimulai sekitar abad ke 18. Ibn Khaldun, seorang pemikir Islam
dalam bidang ilmu sosial, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep
perubahan sosial. Perubahan sosial menurut Khaldun bahwa masyarakat secara
historis bergerak dari masyarakat nomaden menuju masyarakat (yang
tinggal) menetap (disebut masyarakat kota) [2]
Perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi di
dalam atau mencakup sistem sosial. Untuk itu, konsep dasar mengenai perubahan
sosial menyangkut tiga hal, pertama, studi mengenai perbedaan;[3]
kedua, studi harus dilakukan pada waktu yang berbeda;[4]
ketiga, pengamatan pada sistem sosial yang sama. [5]
B.
Biografi singkat Ibn Khaldun
Wali al-Din Abu Abdul Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun
al-Hadrami al-Ishbili, dikenal dengan nama Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada
awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Wafat di Kairo, Mesir pada 17 Maret
1406. [6]
Ibnu Khaldun adalah keturunan bangsawan dan tinggal di
lingkungan kerajaan. Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya sendiri.
Kemudian ia mempelajari bahasa dari sejumlah guru, yang terpenting adalah Abu
Abdullah Muhammad ibn ‘Arabi Al-Itasyahyiri dan Abu Al-Abas Ahmad Ibn
Al-Qushshar serta Abu Abdillah Muhammad ibn Bah. Ia mempelajari hadits kepada Syamsudin Abu Abdillah al-Widayashi Al-Qashir. Ia
juga belajar ilmu alam, filsafat, matematika, teologi kepada Abu Abdillah
Muhammad bin Ibrahim al-Abili.
Latar belakang keluarganya, dan saat ia dilahirkan sangat
menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan
tradisi intelektual ke dalam dirinya. Sedangkan semasa hidupnya yang ditandai
oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan
dinasti Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan teori-teori ilmu sosial
serta filsafatnya, sebuah ciri khas yang melatarbelakangi kehidupan Ibnu
Khaldun adalah berasal dari keluarga politis, dan intelektual dan antrokrat. Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ia berkecimpung dalam bidang
politik. Kemudian mengundurkan diri dari bidang politik serta menekuni ilmu
pengetahuan dan kesufian[7].
Ibnu Khaldun salah seorang ahli fikir Islam,
sebagaimana para pemikir Islam lainnya, pendidikan masa kecilnya berlangsung
secara tradisional[8]. Ibnu Khaldun pertama sekali menerima pendidikan langsung dari ayahnya.
Artinya ia harus belajar membaca Al-quran, Hadist, Fiqih, Sastra, Nahu Sharaf,
juga mempelajari Tafsir, gramatika, ilmu mantiq dan filsafat, karena ayahnya
sagat terkenal dan mahir dalam bidang ilmu tersebut, dengan sejumlah ulam
Andalusia dan Tunisia.
Tunisia pada waktu itu merupakan pusat ulama
dan sastrawan di daerah Magrib. Khususnya kepada ayahnya, Ibnu Khaldun umur 17
tahun ayahnya wafat meninggalkan lima putra diantaranya Abd. Rahman (Ibnu
Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Hidupnya yang berpindah-pindah dari
Maroko ke Andalusia dan memberikan waktu luang dan mengarang. Diantara guru
Ibnu Khaldun yang terkenal adalah Abu Abdullah
Muhammad Ibnu Saad Ibn Burral al-Ansari, Syaikh Abu Abdullah Ibn
al-Arabi al-Hasayiri, Muhammad al-Syawwas al-Zarazali, Ahmad Ibn al-Qassar,
Syaik Syams al-Din Abu Abdullah Muhammad al-Wadisyasyi, dan Muhammad Ibn Abd
al-Salam[9].
Selanjutnya pada tahun 1362 Ibnu Khaldun menyeberang ke Spanyol
dan bekerja pada raja Granada. Di Granada, ia menjadi utusan raja untuk
berunding dengan Pedro (raja Granada) dan raja Castila de Sivilla. Karena kecakapannya
yang luar biasa, ia ditawari pula bekerja oleh penguasa Kristen saat itu.
Sebagai imbalannya tanah-tanah bekas milik keluarganya dikembalikan kepadanya.
Akan tetapi dari tawaran-tawaran yang ada, ia akhirnya memilih tawaran untuk
bekerja sama dengan raja Granada. Kesanalah ia memboyong keluarganya dari Afrika.
Ia tidak lama tinggal di Granada. Ia selanjutnya kembali ke Afrika dan diangkat
menjadi Perdana Menteri oleh Sultan al-Jazair. Ketika antara tahun 1362-1375
terjadi pergolakan politik, menyebabkan Ibnu Khaldun terpaksa mengembara ke
Maroko dan Spanyol.
Pada tahun 1382, ia melaksanakan ibadah haji.
Setelah melaksanakan haji, ia kemudian berangkat ke Iskandariyah dan
selanjutnya ke Mesir. Di Mesir, ia kemudian diangkat menjadi ketua Mahkamah
Agung pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Selain dikenal sebagai filosof,
Ibnu Khaldun dikenal sebagai sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap
bidang pendidikan. Hal ini antara lain
terlihat dari pengalamannya sebagai pendidik yang berpindah-pindah dari
satu tempat ketempat lainnya[10].
Di Qastantin selatan, di benteng Ibnu
Salamah, ia menghabiskan waktu selama 4 tahun untuk menulis, ia selesaikan di
tempat tersebut Muqadimahnya yang
sangat terkenal. Waktu itu ia berumur 43 tahun. Ketika ia banyak memerlukan
referensi lagi dan hal itu tidak mencukupi kecuali di Tunisia[11].
Pendidikan formal dilaluinya hanya sampai
usia 17 tahun, seterusnya ia belajar sendiri meneruskan apa yang telah
diperolehnya pada masa pendidikan formal sebelumnya. Karena ketenarannya telah
datang ke Mesir terlebih dahulu ia pun didaulat untuk mengajar fiqih mazhab
Maliki. Sehingga pernah ia menjabat sebagai qadhi, diplomat, guru besar dan rektor Amaliyah, ketua hakim agung di Mesir
selama 6 periode. Dan selama 40 tahun inilah, ia memanfaatkan sisa usianya untuk menulis, mengarang, mengembangkan dan
mengabdikan ilmu pengetahuan yang selama ini
ditinggalkannya hingga meninggal dunia pada tahun 1406 M. Ia meninggal dunia di Mesir dalam usia 74 tahun[12].
Ketenaran Ibnu Khaldun sebagai ulama dapat dilihat dari karya
monumentalnya Al-Muqaddimah. Kitab ini sesungguhnya merupakan pengantar
bagi karya Universitasnya yang berjudul Kitab
Al-Ibar wa Diwan al-Mubdada’ wa al-Khabar fi ayyani al-Arab wa al-Ajam wa al –
barbar wa man Asarahun min Dzami as sut than al-Akbar. (Buku Sejarah
Kemajuan Bangsa Arab Ajam, Barbar dan Orang-Orang Sezaman dengan Mereka yang
Memiliki Kekuasaan Besar).
Seluruh ilmunya dalam kitab Al-Muqadimmah memaparkan tentang ilmu
sosial, kebudayaan, ilmu pendidikan, politik, ekonomi, sastra, disamping itu
juga ilmu Filsafat, tasawuf, metafisika yang termasuk kitab pertama yang
merumuskan perkembangan sejarah manusia dengan metodologi ilmiah yang
didasarkan pada riset mengenai berbagai faktor yang mampu memotivasi
perkembangan manusia. Sementara kitab al-Ibrar merupakan bukti empiris
historis dan teori yang dikembangkannya : Orientalis dan kedalaman pemikiran
yang telah berhasil meletakkan karya Muqadimmah sebagai sebuah karya yang umum
dan melampaui zamannya[13].
Di samping perhatiannya yang besar terhadap gurunya,
Ibnu Khaldun juga menyebutkan buku yang pernah ia pelajari. Buku-buku itu
antara lain: Al-Lamiyah fi Qira’at dan Al-Ra’iyah karangan Al-Syattibi, Ulum
Al-Hadits karya Ibn Al-Sholah. [14]
Ibnu Khaldun adalah mutiara yang bersinar sejak abad
pertengahan hingga sekarang. Ide cerdasnya tidak akan habis dikaji oleh para
sejarawan dulu, kini dan yang akan datang (The first philosopher of history
and the last intelectual giant of Islam).
Al-Muqadimah
karya Ibnu Khaldun (1332-1406) belum menampakkan tanda-tanda akan sirna,
nampaknya karya ini masih saja dikaji dan diperdebatkan.
Adalah sesuatu yang alami dalam wacana ilmiah adanya
sikap pro dan kontra terhadap hasil pemikiran atau temuan seorang ilmuwan,
tidak terkecuali terhadap Ibnu Khaldun dan tesis yang ditemukannya. Pihak yang
pro telah menempatkan Ibnu Khaldun pada posisi yang sangat tinggi, sebagai
seorang pemikir ensiklopedis yang tidak banyak muncul dalam sejarah seperti
sejarawan A. J. Toybee. Bagi yang kontra, memposisikan Ibnu Khaldun yang sangat
rendah sebagai grand misconception of the historical proces.
Penilaian yang saling berbenturan tentang Ibnu Khaldun
dan ide-idenya merupakan salah satu indikasi dari kenyataan buku Al-Muqadimah
masih juga tidak usang untuk dibicarakan di kalangan para ilmuwan. [15]
Namun kebenaran Ibnu Khaldun justru karena Al-Muqadimah-nya,
dan bukan karena Kitab Al-‘Ibrar-nya. Mengapa demikian? Tidak sukar
untuk menjawabnya, karena seluruh bangunan teorinya sebagai ilmu sosial,
kebudayaan dan sejarah tersirat dalam Al-Muqadimah. Kitab Al-‘Ibrar
adalah buku empiris-historis dati teori yang telah dikembangkan. [16]
C.
Gagasan Ibn Khaldun: Pendekatan Teori Siklus
Meskipun Ibn Khaldun tidak menyebut pemikirannya
adalah pemikiran yang sosiologis, namun sebenarnya pemikirannya sangat
sosiologis. Ia tidak memakai terminologi sosiologi, namun ia banyak menggunakan
konsep-konsep dalam sosiologi, seperti konsep masyarakat dan solidaritas
sosial. Studi perubahan sosial dalam sosiologi dapat dikategorikan ke dalam
kajian makrososiologi[17]
dan mikrososiologi.[18]
Sedangkan kelompok teori siklus dalam studi mengenai
perubahan sosial termasuk kajian makrososiologi selain tiga yang lain yakni,
teori evolusi, teori fungsional dan teori konflik.
Teori siklus menurut Horton dan Hunt melihat bahwa ada
sejumlah tahap yang harus dilalui setiap masyarakat, namun mereka berpandangan
bahwa proses peralihan tersebut bukanlah akhir dari proses perubahan yang
sempurna. Akan tetapi proses peralihan tersebut akan kembali ke tahap semula
untuk kembali mengalami peralihan.[19]
Dalam muqaddimahnya, Ibn khaldun memandang
manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk sosial,
yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan
kehidupannya, baik dalam hal memperoleh makanan, pekerjaan, sampai dengan
kebutuhan untuk melindungi dirinya dari bahaya, sehingga kehidupannya dengan
masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan.
Dalam konsepnya, Ibn Khaldun mengklasifikasi dua jenis
kelompok sosial yang keduanya memiliki karakter yang cukup berbeda. Pertama
adalah “badawah” yakni masyarakat yang tinggal di pedalaman, masyarakat
primitif, atau tinggal di daerah gurun; kedua “hadharah” yakni
masyarakat yang identik dengan kehidupan kota. Ia menyebut sebagai masyarakat
beradab atau memiliki peradaban atau sering juga disebut masyarakat kota.
Kondisi fisik tempat tinggal mereka turut mempengaruhi
kehidupan beragama mereka. Masyarakat Badui hidup lebih sederhana dibanding
masyarakat kota dan hidup dengan meninggalkan makanan mewah, memiliki tingkat
ketaqwaan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat kota. Orang Badui lebih
berani, mereka memiliki ikatan solidaritas (ashabiyah) yang kuat, dan
menurut Khaldun inilah yang menjadi syarat kekuasaan.
Ditempat lain, masyarakat kota lebih hidup dengan
berbagai kemewahan, serba enak, menyebabkan mereka menjadi lebih individualis
yang berdampak pada lemahnya ikatan solidaritas mereka. Dengan lemahnya
solidaritas ini, maka masyarakat kota lebih mudah dikalahkan oleh masyarakat
badui, dan masyarakat kota mengalami kehancuran dan masyarakat badui berhasil
menduduki kota.
Dengan kenyataan ini sebenarnya apa yang disimpulkan
Ibnu Khaldun lebih terbatas. Ruang lingkupnya di Afrika Utara dan pada beberapa
dinasti Arab-Muslim. Lebih jauh penjelasan berdasarkan ringkasan Fuad Baali di
bawah ini:
Menurut Ibnu Khaldun, kemunculan sebuah bangunan
kekuasaan akan menimbulkan anarki, dan anarki pada gilirannya akan
menghancurkan peradaban. Proses kehancuran ini berjalan melalui masa transisi
dari kehidupan primitif (nomadisme), ruralisme menuju kehidupan hadharah
(urbanisme).
Perubahan ini terjadi akibat masyarakat nomas tergoda
oleh kemewahan kota yang serba menggairahkan.
Pemimpin mereka berusaha menarik berbagai ashabiyah
di sekitarnya sebelum melakukan serangan terhadap negara tetangga. Bila
serangan itu berhasil, maka di atas reruntuhannya itu dibangun sebuah negara
baru. Proses itu berlangsung terus sebagai sebuah siklus, selama ada kontak
antara masyarakat nomas dengan penduduk kota.
Diteorikan lebih jauh bahwa perkembangan sebuah negara
mengalami 5 fase:
Pertama, saat
mengalahkan musuh dari lawannya. Pada fase ini penguasa dijadikan model oleh
para pengikutnya dalam hal memungut pajak. pada fase ini penguasa tidak
menjauhi dari pengikutnya.
Kedua, penguasa
memerintah secara otokratik dan mulai dan mulai menjauhkan diri dari
pengikutnya. Diciptakanlah fasal-fasal dan pengikut baru demi melemahkan posisi
para pemegang ‘ashabiyah dan keluarga dekat yang mengklain sebagai sejajar
dengannya dalam memerintah negara. Pada fase ini penguasa didukung oleh sejumlah
kecil individu yang asing, tidak punya hubungan darah atau hubungan suku
dengannya.
Ketiga, adalah fase
bersenang dan fase kesenangan untuk hidup mewah dan kesukaan membangun monumen.
Penguasa menggunakan seluruh kekuasannya untuk menarik pajak, mengatur
pendapatan dan pengeluaran .
Keempat, adalah fase
bahagia dan damai, bahkan dengan pihak musuh, penguasa sudah merasa puas dengan
apa yang telah dilaksanakan oleh para pendahulunya yang senantiasa dijadikan
contoh. Inilah klimak dari sebuah perjalanan kekuasaan.
Kelima, adalah fase
pemborosan dan kemewahan. Pada fase ini penguasa menghancurkan apa yang telah
dibangun oleh para pendahulunya demi mengikuti nafsu, kesenangan dan sikap
pemurah terhadap lingkaran intinya. Pada fase ini, ia dikelilingi oleh
teman-teman palsu dan orang-orang jahat yang dipercayainya untuk menangani
tugas negara sedangkan mereka tidak becus untuk itu. [20]
Khaldun menjelaskan bahwa solidaritas merupakan kunci
utama yang dapat mempertahankan keutuhan masyarakat. Masyarakat individualis
akan sangat mudah dihancurkan oleh masyarakat yang memiliki solidaritas yang
sangat kuat.
D.
Gagasan Ibn Khaldun: tentang masyarakat, Negara dan
peradaban
1.
Asal-Usul
Masyarakat
Ada
pernyataan menarik bahwa manusia merupakan zoon politicon.[21]
Pernyataan tersebut sangatlah mendukung bahwa manusia dalam kenyataannya
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung membentuk sebuah organisasi
masyarakat. Membentuk suatu organisasi masyarakat adalah sebuah keniscayaan,
karena munusia juga tidak akan bisa bertahan tanpa manusia lainnya. Meskipun
manusia dikarunia kelebihan oleh Tuhan dalam penciptaannya, namun secara fisik
manusia juga sangat terbatas, dan tetap memiliki kekurangan. Kegiatan manusia
dalam melakukan aktifitasnya pastilah memerlukan materi lain baik itu tenaga
maupun alat pendukung, misalnya makanan.
Makanan,
jika kita tinjau lebih jauh bagaimana proses makanan itu dibuat, tentu akan
membutuhkan cerita yang panjang baik dari mulai proses pembuatan dari bahan
mentah sampai menjadi makanan siap saji. Dari hal tersebut dapat dibuktikan
bahwa ada unsur-unsur yang mempengaruhi yakni alat, bahan mentah, tenaga,
waktu, tempat dan lain-lain. Begitu pula proses sosial dalam masyarakat. Itu
berarti manusia tidak akan bisa melakukan semuanya dalam satu kegiatan dan
pastinya manusia membutuhkan tenaga lain. Itulah mengapa penjelasan
asal-usul masyarakat ini menjadi bahan awal dalam membangun sebuah negara.[22]
2.
Asal-Usul
Negara
Dalam
hal ini akan dijelaskan mengenai asal-usul sebuah negara. Telah dijelaskan
dalam pembahasan asal-usul Masyarakat bahwa manusia tidak bisa hidup secara
individu dan oleh karena itu dibutuhkanlah sebuah organisasi masyarakat.
Setelah
Organisasi masyarakat terbentuk barulah manusia menyadari bahwa pentingnya
sebuah keamanan (ancaman dari pihak luar) juga sangat perlu. Mungkin serangan
dari binatang bukanlah suatu ancaman yang menakutkan bagi manusia, tetapi
serangan dari manusia itu sendiri merupakan suatu yang sangat menakutkan
bagaikan bermain “topeng”. Bukan karena kekuatan fisiknya tetapi karena
kelicikannya yang melebihi dari pada binatang. Oleh karena itu
diperlukanlah manusia yang mempunyai otoritas yang tinggi untuk bertindak
sebagai keamanan. Disamping mempunyai kekuasaan yang penuh sebagai penengah, Ia
juga harus mempunyai Authoritative Power, karena hal inilah yang menjadi
alat penting untuk menekan terjadinya konflik atau serangan dari pihak-pihak
luar.[23]
Dia adalah orang yang akan melaksanakan kekuasaan dan menjauhkan manusia dari
sifat agresifitas, arogansi, kedhaliman dan kebinatangan, masing-masing saling
membunuh untuk memenuhi kepentingannya. Maka diperlukanlah sebuah lembaga untuk
mengatur dan menertibkannya.[24]
Perlu
diungkapkan bahwa setiap masyarakat memiliki sistem kekuasaan. Setiap
masyarakat memiliki tokoh atau kelompok berkuasa dalam mengambil keputusan dan
melaksanakannya berdasarkan otoritas yang ada padanya. Kekuasaan seorang atau
kelompok nyata dari kemampuan untuk mengendalikan orang dan memaksanya untuk
melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawabnya. Kekuasaan digunakan untuk
mengendalikan orang agar diperoleh ketertiban dan pengawasan atas tindakan
seorang. Tentu saja kekuasaan itu dapat digunakan baik untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok. Jika kekuasaan jatuh pada orang yang tidak bertanggung
jawab, tentu sangat merugikan masyarakat.[25]
3.
Bentuk
Pemerintahan
Dalam
konsep Pemerintahan Ibn Khaldun membagi bentuk pemerintahan menjadi tiga tipe, yakni:
Pertama, Al-Mulk natural artinya, seorang raja dalam
memerintah lebih mengikuti keegoisan dan hawa nafsunya sendiri dan tidak
memperhatikan kepentingan rakyat. Pemerintahan jenis ini lebih dekat kepada
pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. Kedua,
Al-Mulk politik yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai
dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan.
Pemerintahan jenis ini serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan
insitusional yang dapat mewujudkan keadilan hanya pada batas-batas
tertentu. Ketiga, Al-Imamah yaitu pemerintahan yang membawa
kemaslahatan bagi semua rakyat baik yang bersifat keduniawian maupun
keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model ketiga inilah yang terbaik, karena
dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan
dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai
sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya
Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam.[26]
Ibnu
Khaldun dalam bukunya Osman Raliby (1965) menyebut adanya empat syarat yang
harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu: ilmu pengetahuan yang luas, keadilan,
kesanggupan, dan tidak mempunyai kecacatan atau keselamatan indera dan anggota
tubuh dari hal-hal yang bisa mempengaruhi cara berpendapat dan bertindak.[27]
Adapun syarat kelima, yakni keturunan Quraisy masih diperselisihkan.[28]
Syarat berilmu pengetahuan juga jelas. Karena dia akan bisa menjalankan
hukum-hukum Allah apabila dia mengetahuinya. Berilmu pengetahuan yang
dimaksudkan tidak akan memadai kecuali jika ia seorang mujtahid, mengingat
taqlid adalah suatu kekurangan; sementara kepemimpinan menuntut kesempurnaan
dalam karakteristik dan watak. [29]
4.
Ashabiyah
dan
Teori Siklus
Secara
etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti
mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya
yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah
juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada
kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[30]
Dapat dikatakan bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan
keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa dibarengi ashabiyah,
maka keberlangsungan dan eksistensi suatu negara tersebut akan sulit terwujud,
serta sebaliknya, negara tersebut berada dalam ancaman disintegrasi dan menuju
pada kehancuran.[31]
Di
sinilah Ibn Khaldun dengan Konsep ashabiyah nya sangat teliti dalam
menganalisis persoalan politik dan negara. Ashabiyah merupakan kunci
awal lahir dan terbentuknya sebuah negara. Jika unsur ashabiyah suatu
negara sudah melemah, maka negara itu berada dalam ancaman keruntuhan. Oleh
karena itu teori ashabiyah ini tidak bisa disangkal keadaannya, dan
bahkan teori ashabiyah ini menjadi inspirasi bagi pergerakan politik
kontemporer.
Ibnu
Khaldun membagi istilah ashabiyah menjadi dua macam pengertian. Pertama,
Pengertian ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep
persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini
membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama,
mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi
kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan
sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan
kemajuan peradaban. Kedua, Pengertian ashabiyah bermakna negatif,
yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada
aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki
dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran
yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.
Gagasan
Ibn Khaldun tentang negara yang dikaji melalui pendekatan sosiologis diilustrasikan
dengan sifat alamiah manusia yang senantiasa hidup berkelompok, saling
menggantungkan diri, dan tidak mampu hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan
orang lain (zoon politicon). Sehingga dari sifat alamiah tersebut serta
dibarengi adanya tujuan yang sama dari masing-masing manusia, kemudian
terbentuklah ashabiyah di antara mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk
sejak mulai dari kelompok terkecil sampai kepada kesatuan kelompok manusia yang
paling besar.
Argumentasi
mendasar diperlukannya ashabiyah tersebut, karena; Pertama, teori
tentang berdirinya negara berkenaan dengan realitas kesukuan (klan).
Keadaan sebuah suku dilihat dari faktor psikologis bahwa masyarakat tidak
mungkin mendirikan negara tanpa didukung perasaan persatuan dan solidaritas
yang kuat.[32]
Kedua, bahwa proses pembentukan negara itu harus melalui perjuangan yang
keras dan berat. Apabila imamah tidak mampu menundukkan lawan maka
dirinya sendiri yang akan kalah dan negara tersebut akan hancur. Oleh sebab
itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya.
Oleh
karenanya, kekuatan solidaritas memberikan efek yang dapat mempengaruhi
keeksistensian negara. Selanjutnya Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama memiliki
peran penting dalam membentuk persatuan ashabiyah tersebut. Semangat
persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu tidak bisa ditandingi
oleh semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor lainnya. Hal tersebut
didukung oleh visi agama dalam meredakan pertentangan dan perbedaan visi
rakyat, sehingga mereka mempunyai tujuan sama, untuk berjuang bersama
menegakkan agamanya. Hal ini bisa dibuktikan ketika dalam perang Yarmuk dan
Qadisiyah, di mana pasukan umat Islam hanya berjumlah 30.000 orang, dan tentara
Persia di Qadisiyah berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraklitus,
berjumlah 400.000 orang. Meskipun jumlah pasukan umat Islam sangat kecil,
tetapi karena didasari semangat persatuan yang tinggi dan dibentuk oleh peran
agama hasilnya umat Islam mampu memenangkan peperangan tersebut.[33]
Ibn
Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau
sebuah peradaban menjadi lima tahap, seperti yang telah dijelaskan dalam konsep
teori siklus di atas yaitu:
a. Tahap
sukses, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (ashabiyyah)
yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
b. Tahap
tirani, dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Nafsu untuk
menguasai menjadi tidak terkendali.
c. Tahap
sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa
tercurah pada usaha membangun negara.
d. Tahap
tentram dan damai, dimana penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah
dibangun para pendahulunya.
e. Tahap
kemewahan, dimana penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa
nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.[34]
Dari
tahapan-tahapan tersebut akhirnya memunculkan tiga generasi, yaitu: Generasi pertama;
generasi pembangun, generasi yang masih memegang sifat-sifat kenegaraan.
Generasi kedua; generasi penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan
secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi
terhadap kepentingan bangsa dan negara. Generasi ketiga; ganeresi
ketidakpedulian. Mereka tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan
negara dan mereka tidak pernah memedulikan nasib negara.[35]
Jika
suatu bangsa sudah mencapai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara
sudah di ambang pintu. Dari tahapan di atas dapat disederhanakan ketika sebuah peradaban
besar dimulai dari masyarakat yang hidup dengan kesusahan dan penuh perjuangan.
Keinginan untuk hidup makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan
ashabiyyah, membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita
mereka dengan perjuangan yang keras pula. Ketika Impian tersebut telah tercapai
maka akan memunculkan sebuah peradaban baru. Adanya kemunculan peradaban baru
tersebut memberikan dampak atas mundurnya peradaban tersebut dari peradaban
lain. Tahapan-tahapan tersebut berputar seperti roda yang tidak pernah
berhenti. Lebih sederhana lagi teori siklus ialah; lahir, tumbuh, berkembang
dan mati.
E.
Kesimpulan
1.
Prinsip dasar
a.
Fenomena sosial budaya tunduk pada hukum, walau tidak
semutlak hukum alam.
b.
Hukum bekerja atas dasar dukungan massa dan tidak
dapat dipergunakan secara signifikan oleh individu-individu dengan terpisah.
c.
Hukum itu dapat ditemukan dengan menyimpulkan sejumlah
fakta atau dengan mengamati persamaan-persamaan dan urutan-urutannya.
d.
Hukum itu umumnya berlaku untuk semua masyarakat
(peradaban) dengan jenis struktur yang serupa.
e.
Masyarakat dan (peradaban) tidak statis, bentuk sosial
budaya berubah dan dinamis melalui fakta utamanya kontak sosial antar individu
dan kelas yang berbeda.
f.
Faktor sosial budaya lebih menentukan perubahan
masyarakat (peradaban daripada faktor lingkungan fisik).
2.
Beberapa hukum/teori sosial budayanya.
a.
Tipologi/evaluasi masyarakat (arab)
“Badawah” dan “Hadharah”
- Berpindah - Menetap
- Hidup sederhana - Hidup mewah
- Ashabiah kuat - Ashabiah rendah
b.
Hubungan antara kekuasaan (negara) dan peradaban
kekuasaan
lemah/runtuh à anarkhi à peradaban hancur
kekuasaan kuat àstabilitas à peradaban maju
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman Zainuddin. Kekuasaan
Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992
Abd. Al-Rahman Ibn Khdun , Muqaddimah Ibn Khaldun. Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi, Cairo,
Dar al-Nahdah, tth, jilid ,1
Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan;
Individu, Masyarakat dan Pendidikan, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2013
Ahmad Syafi’i Maarif, Ibnu
Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta, Gema Insani
Press, 1996
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu
Khaldun: Riwayat dan Karyanya penterjemah Ahmadi Thaha, Jakarta,
Grafiti Press, 1985
Fuad Baali, Society, State
and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sociological Thought. New York: State
University of New York Press, 1988
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu tujuan teoritis
dan praktis berdasarkan pendekatan indisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993
Ibn Khaldun. The
Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz
Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, 1989
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedia Filsafat, Shofiyullah Mukhlas, Jakarta, Khaifa. 2005
Jhon L. Esposito (ed). Ensiklopedi
Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Penerbit Mizan, 2001
M. Djiauddin Rais. Teori
Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001
Muhammad Abdullah Enan, Ibn
Khaldun: His Life and Work. New Delhi, Kitab Bharan, 1994
Munawir Sjadzali, Islam dan
Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta UI Press,
1990
Nanang Martono, Sosiologi
Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial,
Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2012, cet. Ke-2
Osman Raliby, Ibnu Chaldun;
Tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1965, h. 153
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
Ciputat, Ciputat Press, 2005
Rusjdi Ali Muhammad. Politik
Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam-Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, Jakarta, Logos 1997
Shofiyullah M.Z. Kekuasaan
Menurut Ibnu Khaldun, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1998
Umar Muhammad al-Toumi
al-Syaibany, Falasafah al-Tarbiyah
al-Islamiyah, Tripoli Libia,
al-Syarikah al-Ammah lial-Nasyr al-Tauzi wal-I’kan, 1975
[1] Kajian tersebut tidak
semata-mata terbatas pada proses perubahannya, mekanisme perubahan, arah
perubahan, melainkan sampai kepada pembahasan mengenai dampak atau
konsekuensi-konsekuensi perubahan sosial itu sendiri.
[2] Nanang Martono, Sosiologi
Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial,
Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2012, cet. Ke-2.h.1-2
[3] Artinya, bahwa untuk dapat
melakukan studi perubahan sosial, kita harus melihat adanya perbedaan atau
perubahan kondisi obyek yang menjadi fokus studi
[4] Yang dimaksud adalah bahwa
perubahan harus dilihat dalam konteks waktu yang berbeda, dengan kata lain kita
harus melibatkan studi komparatif dalam dimensi waktu yang berbeda
[5] Obyek yang menjadi fokus studi
komparasi tersebut haruslah obyek yang sama. Lihat Nanang Martono, sosiologi...h.2-3
[6] Muhammad Abdullah Enan, Ibn
Khaldun: His Life and Work. New Delhi, Kitab Bharan, 1994, h.3
[7] Abd. Al-Rahman Ibn Khdun , Muqaddimah Ibn Khaldun. Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi, Cairo,
Dar al-Nahdah, tth, jilid ,1 h 41
[8] HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu tujuan teoritis dan praktis berdasarkan
pendekatan indisipliner,
Jakarta, Bumi
Aksara, 1993, h. 141.
[9] Umar Muhammad al-Toumi
al-Syaibany, Falasafah al-Tarbiyah
al-Islamiyah, Tripoli Libia,
al-Syarikah al-Ammah lial-Nasyr al-Tauzi wal-I’kan, 1975, h 282.
[10] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
Ciputat, Ciputat Press, 2005, h 18
[11] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedia Filsafat, Shofiyullah Mukhlas, Jakarta, Khaifa. 2005,
h.7.
[12] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam-Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, Jakarta, Logos 1997, h.91.
[13]
Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam …., h. 93
[14] Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu
Khaldun: Riwayat dan Karyanya penterjemah Ahmadi Thaha, Jakarta,
Grafiti Press, 1985, h.3
[15] Ahmad Syafi’i Maarif, Ibnu
Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta, Gema Insani
Press, 1996. h.3
[16] Ahmad Syafi’i Maarif, Ibnu
Khaldun ... h.24-25
[17] Makrososiologi merupakan sosiologi
yang mempelajari pola-pola sosial berkala besar terutama dalam pengertian
komparatif dan historis, pokok kajiannya banyak memusatkan perhatian pada aspek
sistem sosial, bagaimana sistem sosial bekerja. Lihat Nanang Martono, Sosiologi....h.27
[18] Sedangkan mikro sosiologi
lebih memberikan perhatian pada perilaku
sosial dalam kelompok dan latar sosial masyarakat tertentu. Fokus kajiannya
lebih banyak pada interaksi sosial, terutama interaksi secara tatap muka. Lihat
Nanang Martono, Sosiologi....h.28
[19] Nanang Martono, Sosiologi....h.29
[20] Fuad Baali, Society, State
and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sociological Thought. New York: State
University of New York Press, 1988, h. 69-71
[21] Munawir Sjadzali, Islam
dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta UI
Press, 1990, h. 99
[22] Osman Raliby, Ibnu
Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1965,
h. 153
[23] Osman Raliby, Ibnu
Khaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, h. 158
[24] Rusjdi Ali Muhammad. Politik
Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,
h. 8
[25] Abdullah Idi, Sosiologi
Pendidikan; Individu, Masyarakat dan Pendidikan, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, Cet. Ke 3, 2013, h. 63
[26] M. Djiauddin Rais. Teori
Politik Islam, Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 86-89
[27] Osman Raliby, Ibnu
Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, hlm. 168
[28] Diantara yang menolak syarat ini
adalah Abu Bakar Al-Baqillani
[29] Osman Raliby, Ibnu
Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, hlm. 168
[30] Jhon L. Esposito (ed). Ensiklopedi
Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, h. 198
[31] Ibn Khaldun mengatakan bahwa
solidaritas sosial ini terbentuk atau terdapat pada kelompok masyarakat
generasi pertama, yang ikut berjuang mendirikan sebuah negara, dinasti, maupun
kerajaan. Namun ketika memasuki kelompok generasi berikutnya semangat solidaritas
itu berangsur hilang dan tidak diketahui kelompok masyarakat yang terakhir ini.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan terkikisnya semangat solidaritas, serta
semakin menurunnya loyalitas masyarakat kepada pemimpinnya. Sebagai contoh Ibn
Khaldun menunjukkan dinasti Abbasiyah di zaman khalifah al-Mu’tashim dan
anaknya al-Watsiq, di mana kekuatan bangsa Arab menjadi lemah, sehingga raja
bergantung sebagian besar kepada orang-orang dari bangsa Persia, Turki,
Dailami, Saljuk dll. Karena mendapatkan kesempatan dan kepercayaan sangat besar
yang diberikan oleh raja, maka bangsa asing tersebut memanfaatkannya dengan
menguasai daerah-daerah kekuasaan dinasti Abbasiyah. Lihat Ibn Khaldun. The
Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz
Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, 1989, h, 123-124
[32] A. Rahman Zainuddin. Kekuasaan
Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992, h. 160
[33] Shofiyullah M.Z. Kekuasaan
Menurut Ibnu Khaldun, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1998, h. 51
[34] Osman Raliby, Ibnu
Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, h. 242
Tidak ada komentar:
Posting Komentar